Perang Badak
Cula badak yang harganya setara emas di pasar gelap menjadi pusat perang berdarah perburuan liar.
Bunyi letusan senapan menggelegar dalam hutan gelap saat Damien Mander tiba di kemahnya setelah seharian melatih calon jagawana di suaka margasatwa swasta Nakavango, di Zimbabwe bagian barat. Pikirannya melayang ke Basta, badak hitam yang sedang hamil, dan plencing (anak badak)-nya yang berusia dua tahun. Sore itu, salah satu jagawananya menemukan jejak kaki manusia yang mengikuti pasangan induk dan anak itu saat Basta mencari tempat berlindung di tengah hutan untuk melahirkan anggota terbaru spesiesnya yang terancam punah.
Damien—pria berotot mantan penembak jitu Pasukan Khusus Australia dengan banyak tato mengesankan, termasuk “Cari & Hancurkan” dalam huruf gotik di dadanya—memutar kepalanya, berusaha menentukan arah tembakan. “Di sana, di dekat perbatasan timur,” dia menunjuk ke kegelapan. “Terdengar seperti kaliber 5,56,” ujarnya, mengidentifikasi posisi dan kaliber, kebiasaan yang terbawa dari 12 kali dinas di Irak.
Dia dan para jagawana menyambar senapan, radio, dan perlengkapan medis, lalu naik bersesakan ke kedua Land Cruiser. Mesin kendaraan meraung di tengah kegelapan malam, bergegas menyergap sang penembak. Jagawana menurunkan kaca jendela mereka dan terdengar tembakan kedua; yang sepertinya menandakan bahwa plencing Basta ditembak juga.
Jejak manusia jelas merupakan alamat buruk. Kelompok pemburu sering membayar pencari jejak untuk menemukan badak, mengikuti hewan ini sampai petang, lalu memberitahukan posisinya melalui radio kepada penembak yang dilengkapi senapan berkekuatan tinggi. Setelah hewan tersebut mati, kedua cula di moncongnya dipotong dalam beberapa menit, dan bangkai besar itu ditinggalkan untuk dubuk dan burung nasar.
Jika kelompok ini terorganisir dengan baik, akan ada sekelompok orang bersenjata yang melindungi rute pelarian mereka, siap untuk menyergap para jagawana. Berdasarkan suara tembakan, para pemburu memiliki senjata yang lebih baik.
Di kursi belakang salah satu mobil yang mengebut itu, Benzene—jagawana Zimbabwe yang telah menghabiskan hampir satu tahun mengawasi Basta dan anaknya dan sangat mengenal kedua induk-anak itu—memasukkan tiga peluru ke senapan semburnya (shotgun), mengunci pengaman, dan mengokangnya. Ketika kami melompat turun, dia berkata, “Lebih baik para pemburu itu bertemu singa daripada kami.”
Dan demikianlah malam di garis depan perang badak yang suram dan kejam di Afrika bagian selatan. Sejak 2006, lebih dari seribu badak dibantai, sekitar 22 pemburu ditembak mati, dan tahun lalu lebih dari 200 orang ditangkap di Afrika Selatan saja. Pusat konflik ini adalah cula badak, bahan berharga bagi pengobatan tradisional Asia. Meskipun harga di pasar gelap sangat bervariasi, musim gugur lalu penjual di Vietnam mengatakan harganya antara 300 ribu sampai 1,2 juta rupiah per gram, harga tertingginya dua kali lipat harga emas dan dapat melebihi harga kokaina.
Meskipun kawasan dua spesies Afrika—badak putih dan saudaranya yang lebih kecil, badak hitam—menyusut, terutama di Afrika bagian selatan dan Kenya, populasi hewan ini menunjukkan peningkatan menggembirakan. Pada tahun 2007 badak putih berjumlah 17.470, sementara badak hitam hampir berlipat dua menjadi 4.230 sejak medio 90-an.
Bagi para pelestari, angka ini menunjukkan keberhasilan. Pada 1970-an dan 80-an, perburuan menghabisi kedua spesies ini. Kemudian China melarang penggunaan cula badak sebagai obat tradisional, dan Yaman melarang penggunaannya sebagai gagang belati resmi. Namun, tahun 2008 jumlah badak yang mati diburu di Afrika Selatan naik menjadi 83, dari hanya 13 pada 2007. Pada 2010 angka itu melonjak menjadi 333, dan tahun lalu lebih dari 400 ekor. Traffic, jaringan pemantau perdagangan margasatwa, menemukan bahwa sebagian besar cula yang diperdagangkan kini berakhir di Vietnam.
Pergeseran pasar ini bertepatan dengan beredarnya rumor bahwa seorang pejabat tinggi Vietnam menggunakan cula badak untuk menyembuhkan kankernya. Sementara itu di Afrika Selatan, tergiur oleh harga—dan keuntungan—yang meroket ini, sindikat kejahatan mulai memasukkan perburuan badak ke portofolio mereka.
Gideon van deventer mengetahui letak persis—15 cm di belakang mata dan lima sentimeter di depan telinga—tempat menghunjamkan peluru 19,5 gram agar menembus otak badak, membuat hewan itu roboh seketika. Dia mengira-ngira letaknya di kepalanya sendiri, lalu mengetukkan jari telunjuk kapalan tepat di belakang tul`ng pipinya. “Kita harus menembaknya tepat di sini. Otak hewan ini sangat kecil,” katanya. “Namun, hewan ini nyaris buta, sehingga bisa kita dekati. Badak dapat mencium bau manusia, jadi kita harus melawan arah angin. Dan pendengarannya bagus, sehingga kita juga harus mengawasi telinganya. Jika telinganya bergerak mengarah ke kita, akan ada masalah.”
Saya menerima pelajaran berburu ini di penjara Kroonstad, sekitar dua jam berkendara ke selatan Johannesburg, dan Van Deventer, 42 tahun, yang biasa dipanggil Deon, adalah guru yang sangat mumpuni. Menurut pengakuannya dia telah membunuh 22 badak, jumlah yang membuatnya menjadi pemburu badak dengan buruan terbanyak di Afrika Selatan, dan mungkin di dunia. Pria kekar setinggi 170 sentimeter ini duduk tegak lurus, dia mengenakan seragam penjara berwarna oranye.
Ayah Deon pindah ke Afrika Selatan dari Kenya, tempat ia menjadi polisi dan pemburu hewan besar. Dia menetap di Transvaal, tidak jauh dari perbatasan Botswana, daerah yang masih sangat liar. Deon dan dua saudaranya praktis hidup di alam liar; pada usia delapan dia bolos sekolah untuk mencari jejak hewan bagi pemburu. “Saya akhirnya lebih mengenal hewan daripada manusia,” katanya.
Akhirnya, dia menjadi pemburu hewan besar profesional, atau “PH” dalam bahasa lokal. “Persiapan dan pencarian jejak, itu keahlian saya. Sekarang orang berkendara dan menembak hewan dari bak truk,” katanya, matanya tiba-tiba sengit. “Itu menembak, bukan berburu.”
Pada 2005, saudara Deon, Andre, yang bekerja untuk agen safari terkemuka Gert Saaiman, bertanya apakah dia tertarik memburu badak. Deon tidak pernah berburu badak sebelumnya dan mulai meneliti. Badak putih jantan menginjak-injak kotorannya sendiri untuk menyebarkan bau dan menandai wilayahnya, jelasnya. “Itu membuat badak mudah dilabak.”
Mengecilkan suara saat menembak sangat penting, jadi dia membuat peredam dari pipa logam dengan cincin yang dilas di dalamnya, lalu memasangnya pada laras senapan kaliber 7,62 x 63mm. “Suaranya seperti senapan angin—tusss,” katanya. “Saya pernah menembak seekor badak jantan, dan si betina sejauh dua meter tidak mengetahuinya sampai saya menembaknya juga.” Dua bersaudara itu malang-melintang di seantero Afrika Selatan, memburu badak secara ilegal di taman nasional dan suaka margasatwa swasta. Karena program pembiakan sukses, jumlah badak pun banyak, dan keamanan menjadi kendur atau mudah dihindari. Setelah membunuh, mereka menyerahkan cula tersebut kepada pihak lain yang menjualnya.
“Namun, saya hanya mendapat sedikit uang,” katanya, menyatakan bahwa dia, Andre, beberapa orang lainnya membagi rata sekitar 100 juta rupiah yang diperolehnya untuk sepasang cula seberat enam kilo. Akhirnya, ketidakpuasan Deon menyebabkan dia tertangkap. Dia memburu badak sendiri dan tertangkap saat menjualnya.
Sekarang Deon-lah yang diburu. Polisi menekannya agar bersaksi atas kejahatan Saaiman dan yang lainnya. Dia jelas takut akan konsekuensinya. Hanya beberapa hari setelah penangkapan Deon, istri Saaiman ditembak di tenggorokan di depan rumahnya dan meninggal di depan anak-anaknya. Enam bulan lalu, mantan istri Deon diperkosa di rumahnya. Dia dan keempat anak mereka mengikuti program perlindungan saksi sejak saat itu. Tidak lama setelah itu, pria yang mengaku sebagai detektif swasta mengunjungi Deon di penjara dan menawarkan sebuah truk baru seharga 900 juta rupiah dan pekerjaan sebagai PH asal dia tidak bersaksi.
Dia belum memutuskan apakah akan bekerja sama dengan polisi saat dibebaskan empat bulan ke depan. “Mereka tetap dapat menemukan saya sekalipun mereka dipenjara,” kata Deon mengenai komplotannya. “Dan saya yakin mereka akan membunuh saya.”
Waktu berkunjung habis, dan penjaga mengingatkannya, “Badak, waktunya habis.” Deon menatap saya dan mencengir. “Saya dipanggil ‘Badak’ di sini.”
Sehebat apa pun Deon van Deventer sebagai pencari jejak, ia tidak mungkin bisa menemukan badak liar di Vietnam. Badak jawa dulu banyak terdapat di hutan dan dataran banjir Vietnam, namun pada tahun 2010 pemburu ilegal membunuh badak liar terakhir di negeri itu.
Namun Vietnam tidak kekurangan cula badak. Perdagangan ilegal cula yang dulu berputar di pasar-pasar China, Taiwan, Korea Selatan, Jepang, dan Yaman, sekarang berpusat di Vietnam, dengan mungkin lebih dari satu metrik ton cula yang masuk ke negara itu tahun lalu saja. Di Afrika Selatan banyak warga Vietnam, termasuk diplomat, terlibat dalam kegiatan penyelundupan cula.
Tidak semua cula badak masuk ke Vietnam secara ilegal. Hukum Afrika Selatan, sesuai dengan Konvensi Perdagangan Internasional Spesies Langka (CITES), mengizinkan cula badak diekspor sebagai hasil buruan legal. Pada 2003, seorang pemburu Vietnam terbang ke Afrika Selatan dan membunuh badak saat mengikuti safari legal.
Segera setelah itu, puluhan pemburu Asia tiba, masing-masing membayar 450 juta atau lebih untuk berburu melalui organisasi safari besertifikat. Banyak di antara pemburu ini yang diyakini bekerja untuk sindikat. Saat kembali ke Vietnam, sepasang cula ukuran biasa seberat enam kilo dipotong-potong dan dijual di pasar gelap, menghasilkan keuntungan yang sangat mungkin melebihi 1,8 miliar rupiah setelah dipotong biaya-biaya.
Pemicu demam emas ini sulit ditentukan dengan pasti. Akan tetapi, di balik kehebohan ini jelas terjadi kebangkitan kembali minat terhadap cula yang dianggap mujarab tersebut. Selama setidaknya 2.000 tahun, obat-obatan Asia meresepkan cula badak—digiling menjadi bubuk—untuk mengurangi demam dan mengobati berbagai penyakit. Beberapa penelitian yang dilakukan selama 30 tahun terakhir terhadap khasiatnya meredakan demam terbukti tidak konklusif, namun farmakope tradisional Vietnam edisi 2006 membahas cula badak sepanjang dua halaman.
Klaim terbaru dan paling sensasional adalah bahwa cula dapat menyembuhkan kanker. Para pakar onkologi menyatakan bahwa belum ada penelitian khasiat cula untuk pengobatan kanker yang pernah dipublikasikan. Namun, tidak berarti cula tidak memiliki efek pada orang yang memakainya, kata Mary Hardy, direktur medis di Simms/Mann UCLA Center for Integrative Oncology dan pakar pengobatan tradisional. “Kepercayaan terhadap suatu pengobatan, apalagi yang luar biasa mahal dan sulit didapatkan, dapat memiliki efek yang kuat pada perasaan pasien,” katanya.
Untuk mengetahui popularitas cula badak di Vietnam, saya berkeliling negara itu bersama seorang wanita yang saya sebut saja Ibu Thien. Mammogram memperlihatkan bintik di payudara kanannya; sonogram menunjukkan bayangan mengkhawatirkan di indung telurnya. Wanita 52 tahun yang menarik dan mandiri ini berencana melakukan pengobatan modern, tetapi juga ingin berkonsultasi dengan pakar pengobatan tradisional. Saya bertanya apakah dia yakin cula badak dapat membantu menyembuhkannya. “Saya tidak tahu,” jawabnya. “Namun, apabila Anda merasa akan mati, tidak ada salahnya mencobanya.”
Perjalanan itu membawa kami dari rumah sakit kanker dan klinik tradisional di Hanoi dan Kota Ho Chi Minh hingga ke toko obat tradisional, toko khusus yang menjual kulit binatang eksotis, dan rumah pribadi di kota-kota kecil. Kami menemukan cula badak di setiap tempat yang kami datangi.
Sebagian besar pengguna yang kami temui berasal dari kelas menengah Vietnam yang tumbuh pesat. Sering kali beberapa keluarga urunan untuk membeli sepucuk cula dan membaginya. Sebagian disumbangkan kepada teman yang sakit parah yang tidak mampu membelinya. Ibu memberikan obat ini kepada anaknya yang menderita campak. Kaum manula bersaksi bahwa cula memperbaiki peredaran darah dan mencegah stroke. Banyak yang menganggapnya semacam vitamin super.
Meskipun sejumlah dokter Vietnam yang berbicara dengan saya menyatakan cula badak bukan obat yang efektif untuk penyakit apa pun, beberapa dokter terhormat lainnya menyatakan bahwa cula badak bisa menjadi obat kanker yang efektif. Tran Quoc Binh, Direktur Rumah Sakit Nasional Pengobatan Tradisional, yang merupakan bagian dari Kementerian Kesehatan Vietnam, yakin bahwa cula badak dapat menghambat pertumbuhan beberapa jenis tumor.
“Awalnya kami mulai dengan pengobatan modern: kemoterapi, radiasi, operasi,” kata Tran. “Tetapi, setelah itu mungkin masih ada beberapa sel kanker. Jadi kami menggunakan obat tradisional untuk melawan sel tersebut.” Dia mengatakan bahwa ramuan cula badak, ginseng, dan beberapa tumbuhan lainnya sebenarnya dapat menghalangi pertumbuhan sel kanker, tetapi dia tidak bisa menunjukkan penelitian teruji yang mendukung klaimnya.
Suatu malam di Hanoi, Ibu Thien dan saya mengunjungi sebuah kafe yang ramai. Dia menjelaskan kondisinya kepada sang pemilik yang lalu mengeluarkan sepotong cula berwarna kuning seukuran sabun dan mangkuk keramik yang bergambar badak di sampingnya. Dasar mangkuk itu kasar, seperti ampelas halus. Dia menuangkan sekitar seratus mililiter air ke mangkuk itu dan mulai menggosokkan cula ke dasarnya secara melingkar.
Setelah beberapa menit, cula itu mengeluarkan bau sangit, dan airnya berubah seputih susu. Sambil menggosok, pemilik kafe menjelaskan bahwa dia dan seorang temannya membeli cula itu sebagai suplemen kesehatan dan obat sakit kepala akibat mabuk, harganya sekitar 160 juta rupiah untuk sekitar 180 gram. Ketertarikan mereka sebagian karena diberi tahu seorang mantan sekretaris Ho Chi Minh, pelanggan kafe itu, bahwa Ho yang sangat percaya kepada pengobatan tradisional makan cula badak setiap hari.
Setelah menggosok 20 menit, pria itu menuangkan airnya ke dalam dua gelas kecil dan menyerahkan satu untuk Ibu Thien dan satu lagi untuk saya. Selain teksturnya yang agak berpasir, minuman itu tawar seperti air biasa. Ibu Thien mengosongkan gelasnya dan meletakkannya di meja. “Semoga ada manfaatnya,” ujarnya.
Menurut john hume, kita tidak perlu membunuh badak untuk memasok semua kebutuhan cula badak Vietnam. Pengusaha 69 tahun yang berhasil dalam usaha hotel dan taksi ini memiliki kawanan badak pribadi terbanyak di dunia. Saat ini dia memiliki lebih dari 700 badak putih dan hitam di dua peternakan di Afrika Selatan, dan masih ingin menambahnya.
“Kita memanen wol dari domba, mengapa tidak memanen cula dari badak?” tanyanya pada suatu sore, sambil duduk di kantor salah satu peternakannya. “Jika kita memotong cula sekitar 80 milimeter dari pangkalnya, cula itu akan pulih dalam dua tahun. Itu berarti ada pasokan cula badak yang tidak terbatas jika kita cukup pintar dan tidak sampai membunuh hewan itu.”
Hampir seminggu sekali manajer peternakan Hume dan seorang dokter hewan, dengan diawasi petugas margasatwa, membius salah satu badaknya dan memotong kedua culanya dengan gergaji listrik. Dua puluh menit kemudian hewan tersebut kembali merumput, dan culanya yang telah ditanami mikrocip disimpan di brankas bank. Hume menolak menyebut jumlah cula yang diperolehnya sejak ia mulai panen pada tahun 2002, tetapi dengan perkiraan konservatif saja nilainya mencapai ratusan miliar rupiah.
Ide Hume tentang peternakan cula badak skala besar akan menjadi gagasan baru dalam praktik manajemen margasatwa inovatif yang berasal dari Afrika Selatan. Pada 1961, pejabat di Provinsi Natal merintis pemindahan badak liar ke lahan pribadi untuk menggalakkan peternakan dan meningkatkan keragaman genetis.
Tahun 1986, Dewan Suaka Margasatwa Natal mengizinkan kelebihan badak di suaka margasatwa provinsi ini dilelang sesuai nilai pasar yang wajar, yang menghasilkan miliaran rupiah bagi upaya pelestarian lokal dan mengangkat nilai hewan itu di kalangan peternak dan pemburu. Hume berpendapat bahwa panen cula badak merupakan langkah bijak berikutnya.
Semakin lama kami berbincang, Hume menjadi semakin meradang. Pemburu Vietnam akan dengan senang hati memanah hewan itu dengan pembius, mengambil culanya, dan membiarkannya hidup, katanya dengan keras. “Namun, hukum Afrika Selatan mengharuskan pemburu membunuh badak itu agar bisa mengekspor culanya sebagai hasil buruan.” Dia menggeleng-menggeleng memikirkan betapa tidak logisnya hal itu.
Salah satu kesalahpahaman lain, kata Hume, adalah anggapan bahwa gading dan cula itu sama. Gading adalah gigi gajah, sementara cula badak adalah keratin, sama dengan kuku kuda. Ketika gading gajah dipotong, saraf di bagian dalamnya dapat terinfeksi, menyebabkan kematian hewan tersebut.
Para pelestari berpendapat bahwa melegalkan perdagangan cula badak tidak akan mengubah alasan ekonomi di balik perburuan: cula hasil berburu selalu akan lebih murah daripada cula hasil beternak. Hume tidak setuju: Begitu pembeli yakin pada ketersediaan cula yang legal, harga akan jatuh, yang akan menyebabkan sindikat kejahatan meninggalkan bisnis ini. “Perbedaan mendasarnya adalah bahwa pemburu mencari cula badak demi mendapatkan laba jangka pendek secara mudah. Peternak menggelutinya demi keuntungan stabil jangka panjang.”
Beberapa penolakan, dia khawatir, berasal dari standar ganda budaya. “Pada dasarnya, kita mengatakan kepada orang Vietnam bahwa kita boleh saja membunuh binatang karena kebiasaan kita memancung kepala badak dan memasangnya di dinding sebagai hiasan bisa diterima. Sementara, mereka tidak boleh melakukannya karena tradisi memotong cula untuk obat di Asia itu menjijikkan.”
Setelah berpatroli sepanjang malam tanpa menemukan tanda pemburu liar, Damien mengatur pencarian badak yang dikhawatirkan itu. Para jagawana berjalan beriringan mencari darah atau bangkai di semak-semak. Sampai siang, Basta dan anaknya belum juga ditemukan.
Saat Damien berkendara untuk memeriksa daerah merumput yang disukai badak itu, dia menggambarkan bagaimana tugasnya di Irak melindungi konvoi PBB memberinya wawasan khusus mengenai bahaya yang dihadapi hewan dari pemburu liar. “Kami diserang bom rakitan beberapa kali, dan saya kehilangan beberapa teman,” katanya pelan. “Saya tahu bagaimana rasanya diburu manusia.”
Empat bulan setelah saya mewawancarai Deon, dia dibebaskan dari penjara. Dia memberi tahu polisi bahwa dia tidak akan bersaksi memberatkan komplotannya. Tuduhan terhadap Gert Saaiman kemudian dibatalkan. Sementara itu, pemburu liar membunuh empat badak putih di peternakan John Hume. Dokter Ibu Thien memastikan bintik di payudara dan indung telurnya adalah kista. Dia mengobatinya dengan campuran obat-obatan Barat dan Asia, termasuk cula badak.
Sebelum meninggalkan Zimbabwe, saya kembali mengunjungi Damien. Dia dan Benzene membawa saya jauh ke dalam hutan tempat Basta makan dedaunan pohon mopane dengan tenang. Dia berdiri di samping bayinya yang baru, kulit keriputnya menggulung di sekitar leher dan lutut. Plencing itu memiliki benjolan kecil tempat cula pertamanya nanti muncul, persis seperti moncong nenek moyangnya selama 40 juta tahun.
Damien menggeleng-gelengkan kepalanya. “Sangat menakjubkan melihat makhluk mungil ini dan memikirkan ada yang ingin membunuhnya demi benjolan kecil itu.” Saya katakan bahwa jika pekerjaan utamanya kini adalah melindungi badak, tato “Cari & Hancurkan” di dadanya seharusnya diganti “Cari & Selamatkan”. Dia tergelak
Sumber: National geographic Indonesia
No comments:
Post a Comment