Friday 23 March 2012

Harga tertinggi cula badak dua kali lipat harga emas dan dapat melebihi harga kokain



Perang Badak





Cula badak yang harganya setara emas di pasar gelap menjadi pusat  perang berdarah perburuan liar.


Oleh PETER GWIN
Foto oleh BRENT STIRTON

Bunyi letusan senapan menggelegar dalam hutan gelap saat Damien Mander tiba di kemahnya setelah seharian melatih calon jagawana di suaka margasatwa swasta Nakavango, di Zimbabwe bagian barat. Pikirannya melayang ke Basta, badak hitam yang sedang hamil, dan plencing (anak badak)-nya yang berusia dua tahun. Sore itu, salah satu jagawananya menemukan jejak kaki manusia yang mengikuti pasangan induk dan anak itu saat Basta mencari tempat berlindung di tengah hutan untuk melahirkan anggota terbaru spesiesnya yang terancam punah.

Damien—pria berotot mantan penembak jitu Pasukan Khusus Australia dengan banyak tato mengesankan, termasuk “Cari & Hancur­kan” dalam huruf gotik di dadanya—me­mutar kepalanya, berusaha menentukan arah tembakan. “Di sana, di dekat perbatasan timur,” dia menunjuk ke kegelapan. “Terdengar seperti kaliber 5,56,” ujarnya, mengidentifikasi posisi dan kaliber, kebiasaan yang terbawa dari 12 kali dinas di Irak. 

Dia dan para jagawana menyambar senapan, radio, dan perlengkapan medis, lalu naik bersesakan ke kedua Land Cruiser. Mesin kendaraan meraung di tengah kegelapan malam, bergegas menyergap sang penembak. Jagawana menurunkan kaca jendela mereka dan terdengar tembakan kedua; yang sepertinya menandakan bahwa plencing Basta ditembak juga.


Jejak manusia jelas merupakan alamat buruk. Kelompok pemburu sering membayar pencari jejak untuk menemukan badak, mengikuti hewan ini sampai petang, lalu memberitahukan posisinya melalui radio kepada penembak yang dilengkapi senapan berkekuatan tinggi. Setelah hewan tersebut mati, kedua cula di moncongnya dipotong dalam beberapa menit, dan bangkai besar itu ditinggalkan untuk dubuk dan burung nasar. 

Jika kelompok ini terorganisir dengan baik, akan ada sekelompok orang bersenjata yang melindungi rute pelarian mereka, siap untuk menyergap para jagawana. Berdasarkan suara tembakan, para pemburu memiliki senjata yang lebih baik.

Di kursi belakang salah satu mobil yang me­ngebut itu, Benzene—jagawana Zim­babwe yang telah menghabiskan hampir satu tahun me­ngawasi Basta dan anaknya dan sangat mengenal kedua induk-anak itu—memasukkan tiga peluru ke senapan semburnya (shotgun), mengunci pe­­ngaman, dan mengokangnya. Ketika kami me­lompat turun, dia berkata, “Lebih baik para pem­buru itu ber­temu singa daripada kami.”

Dan demikianlah malam di garis depan perang badak yang suram dan kejam di Afrika bagian selatan. Sejak 2006, lebih dari seribu badak dibantai, sekitar 22 pemburu ditembak mati, dan tahun lalu lebih dari 200 orang di­tangkap di Afrika Selatan saja. Pusat konflik ini adalah cula badak, bahan berharga bagi pe­ngobatan tradisional Asia. Meskipun harga di pasar gelap sangat bervariasi, musim gugur lalu penjual di Vietnam mengatakan harganya antara 300 ribu sampai 1,2 juta rupiah per gram, harga tertingginya dua kali lipat harga emas dan dapat melebihi harga kokaina.


Meskipun kawasan dua spesies Afrika—ba­dak putih dan saudaranya yang lebih kecil, ba­dak hitam—menyusut, terutama di Afrika bagian selatan dan Kenya, populasi hewan ini me­nunjukkan peningkatan menggembirakan. Pada tahun 2007 badak putih berjumlah 17.470, sementara badak hitam hampir berlipat dua menjadi 4.230 sejak medio 90-an. 


Bagi para pelestari, angka ini menunjukkan ke­berhasilan. Pada 1970-an dan 80-an, per­buruan menghabisi kedua spesies ini. Kemudian China melarang penggunaan cula badak se­bagai obat tradisional, dan Yaman melarang peng­gunaannya sebagai gagang belati resmi. Namun, tahun 2008 jumlah badak yang mati diburu di Afrika Selatan naik menjadi 83, dari hanya 13 pada 2007. Pada 2010 angka itu me­lonjak menjadi 333, dan tahun lalu lebih dari 400 ekor. Traffic, jaringan pemantau per­dagang­an margasatwa, menemukan bahwa se­bagian besar cula yang diperdagangkan kini berakhir di Vietnam. 

Pergeseran pasar ini bertepatan dengan beredarnya rumor bahwa seorang pe­jabat tinggi Vietnam menggunakan cula badak untuk menyembuhkan kankernya. Sementara itu di Afrika Selatan, tergiur oleh harga—dan keuntungan—yang meroket ini, sindikat kejahatan mulai memasukkan per­buruan badak ke portofolio mereka.

Gideon van deventer mengetahui letak per­sis—15 cm di belakang mata dan lima senti­meter di depan telinga—tempat meng­hunjamkan peluru 19,5 gram agar menembus otak badak, mem­buat hewan itu roboh seketika. Dia me­ngira-ngira letaknya di kepalanya sen­diri, lalu mengetukkan jari telunjuk kapalan tepat di belakang tul`ng pipinya. “Kita harus me­nem­bak­nya tepat di sini. Otak hewan ini sangat kecil,” katanya. “Namun, hewan ini nyaris buta, sehingga bisa kita dekati. Badak dapat men­cium bau manusia, jadi kita harus me­lawan arah angin. Dan pendengarannya bagus, sehingga kita juga harus mengawasi telinganya. Jika telinganya bergerak mengarah ke kita, akan ada masalah.” 

Saya menerima pelajaran berburu ini di pen­jara Kroonstad, sekitar dua jam berkendara ke selatan Johannesburg, dan Van Deventer, 42 ta­hun, yang biasa dipanggil Deon, adalah guru yang sangat mumpuni. Menurut pengakuannya dia telah membunuh 22 badak, jumlah yang mem­­­buatnya menjadi pemburu badak dengan buruan terbanyak di Afrika Selatan, dan mung­kin di dunia. Pria kekar setinggi 170 senti­meter ini duduk tegak lurus, dia mengenakan seragam penjara berwarna oranye.

Ayah Deon pindah ke Afrika Selatan dari Kenya, tempat ia menjadi polisi dan pemburu hewan besar. Dia menetap di Transvaal, tidak jauh dari perbatasan Botswana, daerah yang masih sangat liar. Deon dan dua saudaranya prak­tis hidup di alam liar; pada usia delapan dia bolos sekolah untuk mencari jejak hewan bagi pemburu. “Saya akhirnya lebih mengenal hewan daripada manusia,” katanya. 

Akhirnya, dia menjadi pemburu hewan besar profesional, atau “PH” dalam bahasa lokal. “Per­siapan dan pencarian jejak, itu keahlian saya. Se­karang orang berkendara dan me­nembak hewan dari bak truk,” katanya, matanya tiba-tiba sengit. “Itu menembak, bukan berburu.”

Pada 2005, saudara Deon, Andre, yang be­kerja untuk agen safari terkemuka Gert Saa­iman, bertanya apakah dia ter­tarik memburu badak. Deon tidak pernah ber­buru badak se­belum­nya dan mulai meneliti. Badak putih jan­tan menginjak-injak kotoran­­nya sen­diri untuk menyebarkan bau dan menandai wilayah­nya, jelasnya. “Itu membuat badak mudah dilabak.” 


Mengecilkan suara saat menembak sangat pen­ting, jadi dia membuat peredam dari pipa lo­gam dengan cincin yang dilas di dalamnya, lalu memasangnya pada laras senapan kaliber 7,62 x 63mm. “Suaranya seperti senapan angin—tusss,” katanya. “Saya pernah menembak seekor badak jantan, dan si betina sejauh dua meter tidak menge­tahuinya sampai saya menembaknya juga.” Dua bersaudara itu malang-melintang di se­antero Afrika Selatan, memburu badak secara ilegal di taman nasional dan suaka margasatwa swasta. Karena program pembiakan sukses, jumlah badak pun banyak, dan keamanan men­jadi kendur atau mudah dihindari. Setelah membunuh, mereka menyerahkan cula tersebut kepada pihak lain yang menjualnya. 

“Namun, saya hanya mendapat sedikit uang,” katanya, me­nyatakan bahwa dia, Andre, beberapa orang lainnya membagi rata sekitar 100 juta rupiah yang diperolehnya untuk sepasang cula seberat enam kilo. Akhirnya, ketidakpuasan Deon me­nyebabkan dia tertangkap. Dia memburu badak sendiri dan tertangkap saat menjualnya.

Sekarang Deon-lah yang diburu. Polisi me­nekan­nya agar bersaksi atas kejahatan Saa­iman dan yang lainnya. Dia jelas takut akan kon­sekuensinya. Hanya beberapa hari setelah pe­nangkapan Deon, istri Saaiman ditembak di tenggorokan di depan rumahnya dan meninggal di depan anak-anaknya. Enam bulan lalu, man­tan istri Deon diperkosa di rumahnya. Dia dan keempat anak mereka mengikuti program per­lindungan saksi sejak saat itu. Tidak lama setelah itu, pria yang mengaku sebagai detektif swasta mengunjungi Deon di penjara dan menawarkan sebuah truk baru seharga 900 juta rupiah dan pekerjaan sebagai PH asal dia tidak bersaksi.

Dia belum memutuskan apakah akan bekerja sama dengan polisi saat dibebaskan empat bulan ke depan. “Mereka tetap dapat menemukan saya sekalipun mereka dipenjara,” kata Deon me­ngenai komplotannya. “Dan saya yakin me­reka akan membunuh saya.”
Waktu berkunjung habis, dan penjaga meng­ingatkannya, “Badak, waktu­nya habis.” Deon menatap saya dan men­cengir. “Saya dipanggil ‘Badak’ di sini.”

Sehebat apa pun Deon van Deventer sebagai pen­cari jejak, ia tidak mungkin bisa menemukan badak liar di Vietnam. Badak jawa dulu banyak terdapat di hutan dan dataran banjir Vietnam, namun pada tahun 2010 pemburu ilegal mem­bunuh badak liar terakhir di negeri itu.

Namun Vietnam tidak kekurangan cula ba­dak. Perdagangan ilegal cula yang dulu ber­putar di pasar-pasar China, Taiwan, Korea Se­latan, Jepang, dan Yaman, sekarang berpusat di Vietnam, dengan mungkin lebih dari satu metrik ton cula yang masuk ke negara itu tahun lalu saja. Di Afrika Selatan banyak warga Vietnam, termasuk diplomat, terlibat dalam ke­giatan penyelundupan cula.

Tidak semua cula badak masuk ke Vietnam secara ilegal. Hukum Afrika Selatan, sesuai de­ngan Konvensi Perdagangan Internasional Spesies Langka (CITES), mengizinkan cula ba­dak diekspor sebagai hasil buruan legal. Pada  2003, seorang pemburu Vietnam terbang ke Afrika Selatan dan membunuh badak saat me­ngikuti safari legal. 

Segera setelah itu, puluhan pemburu Asia tiba, masing-masing mem­bayar 450 juta atau lebih untuk berburu me­lalui organisasi safari besertifikat. Banyak di antara pemburu ini yang diyakini bekerja untuk sindikat. Saat kembali ke Vietnam, sepasang cula ukuran biasa seberat enam kilo dipotong-potong dan dijual di pasar gelap, menghasilkan keuntungan yang sangat mungkin melebihi 1,8 miliar rupiah setelah dipotong biaya-biaya. 


Pemicu demam emas ini sulit ditentukan de­ngan pasti. Akan tetapi, di balik kehebohan ini jelas terjadi kebangkitan kembali minat ter­hadap cula yang dianggap mujarab tersebut. Se­lama setidaknya 2.000 tahun, obat-obatan Asia meresepkan cula badak—digiling men­jadi bubuk—untuk mengurangi demam dan mengobati berbagai penyakit. Beberapa pe­nelitian yang dilakukan selama 30 tahun ter­akhir terhadap khasiatnya meredakan demam ter­bukti tidak konklusif, namun farmakope tra­­disional Vietnam edisi 2006 membahas cula badak sepanjang dua halaman.

Klaim terbaru dan paling sensasional adalah bahwa cula dapat menyembuhkan kanker. Para pakar onkologi menyatakan bahwa belum ada penelitian khasiat cula untuk pengobatan kanker yang pernah dipublikasikan. Namun, tidak berarti cula tidak memiliki efek pada orang yang memakainya, kata Mary Hardy, di­rektur medis di Simms/Mann UCLA Center for Integrative Oncology dan pakar pengobatan tra­disional. “Kepercayaan terhadap suatu pe­ngobatan, apalagi yang luar biasa mahal dan sulit didapatkan, dapat memiliki efek yang kuat pada perasaan pasien,” katanya.

Untuk mengetahui popularitas cula badak di Vietnam, saya berkeliling negara itu bersama seorang wanita yang saya sebut saja Ibu Thien. Mammogram memperlihatkan bintik di payu­dara kanannya; sonogram menunjukkan ba­yang­an mengkhawatirkan di indung telur­nya. Wanita 52 tahun yang menarik dan man­diri ini berencana melakukan pengobatan mo­dern, tetapi juga ingin berkonsultasi dengan pa­kar pengobatan tradisional. Saya bertanya apakah dia yakin cula badak dapat membantu menyembuhkannya. “Saya tidak tahu,” jawab­nya. “Namun, apabila Anda merasa akan mati, tidak ada salahnya mencobanya.”

Perjalanan itu membawa kami dari rumah sakit kanker dan klinik tradisional di Hanoi dan Kota Ho Chi Minh hingga ke toko obat tradi­sional, toko khusus yang menjual kulit binatang eksotis, dan rumah pribadi di kota-kota kecil. Kami menemukan cula badak di setiap tempat yang kami datangi.

Sebagian besar pengguna yang kami temui ber­­asal dari kelas menengah Vietnam yang tumbuh pesat. Sering kali beberapa keluarga urunan untuk membeli sepucuk cula dan mem­baginya. Sebagian disumbangkan kepada teman yang sakit parah yang tidak mampu mem­­belinya. Ibu memberikan obat ini kepada anaknya yang menderita campak. Kaum manula bersaksi bahwa cula memperbaiki peredaran darah dan mencegah stroke. Banyak yang meng­anggapnya semacam vitamin super.

Meskipun sejumlah dokter Vietnam yang ber­bicara dengan saya menyatakan cula badak bukan obat yang efektif untuk penyakit apa pun, beberapa dokter terhormat lainnya menyatakan bahwa cula badak bisa menjadi obat kanker yang efektif. Tran Quoc Binh, Direktur Rumah Sakit Nasional Pengobatan Tradisional, yang me­rupakan bagian dari Kementerian Kesehatan Vietnam, yakin bahwa cula badak dapat meng­hambat pertumbuhan beberapa jenis tumor. 

“Awal­nya kami mulai dengan pengobatan mo­dern: kemoterapi, radiasi, operasi,” kata Tran. “Tetapi, setelah itu mungkin masih ada be­berapa sel kanker. Jadi kami menggunakan obat tradisional untuk melawan sel tersebut.” Dia me­ngatakan bahwa ramuan cula badak, ginseng, dan beberapa tumbuhan lainnya sebenarnya dapat menghalangi pertumbuhan sel kanker, tetapi dia tidak bisa menunjukkan penelitian teruji yang mendukung klaimnya.


Suatu malam di Hanoi, Ibu Thien dan saya mengunjungi sebuah kafe yang ramai. Dia men­jelaskan kondisinya kepada sang pemilik yang lalu mengeluarkan sepotong cula berwarna kuning seukuran sabun dan mangkuk keramik yang bergambar badak di sampingnya. Dasar mangkuk itu kasar, seperti ampelas halus. Dia menuangkan sekitar seratus mililiter air ke mangkuk itu dan mulai menggosokkan cula ke dasarnya secara melingkar. 

Setelah beberapa menit, cula itu mengeluarkan bau sangit, dan airnya berubah seputih susu. Sambil menggosok, pemilik kafe menjelaskan bahwa dia dan seorang temannya membeli cula itu sebagai suplemen kesehatan dan obat sakit kepala akibat mabuk, harganya sekitar 160 juta rupiah untuk sekitar 180 gram. Ketertarikan mereka sebagian karena diberi tahu seorang mantan sekretaris Ho Chi Minh, pelanggan kafe itu, bahwa Ho yang sangat percaya kepada pengobatan tradisional makan cula badak setiap hari.

Setelah menggosok 20 menit, pria itu me­nuang­kan airnya ke dalam dua gelas kecil dan menyerahkan satu untuk Ibu Thien dan satu lagi untuk saya. Selain teksturnya yang agak berpasir, minuman itu tawar seperti air biasa. Ibu Thien mengosongkan gelasnya dan meletakkannya di meja. “Semoga ada manfaatnya,” ujarnya.

Menurut john hume, kita tidak perlu mem­bunuh badak untuk memasok semua kebutuhan cula badak Vietnam. Pengusaha 69 tahun yang berhasil dalam usaha hotel dan taksi ini memiliki kawanan badak pribadi terbanyak di dunia. Saat ini dia memiliki lebih dari 700 badak putih dan hitam di dua peternakan di Afrika Selatan, dan masih ingin menambahnya.

“Kita memanen wol dari domba, mengapa tidak memanen cula dari badak?” tanyanya pada suatu sore, sambil duduk di kantor salah satu peternakannya. “Jika kita memotong cula sekitar 80 milimeter dari pangkalnya, cula itu akan pulih dalam dua tahun. Itu berarti ada pasokan cula badak yang tidak terbatas jika kita cukup pintar dan tidak sampai membunuh hewan itu.”

Hampir seminggu sekali manajer peternakan Hume dan seorang dokter hewan, dengan di­awasi petugas margasatwa, membius salah satu badaknya dan memotong kedua culanya dengan gergaji listrik. Dua puluh menit ke­mudian hewan tersebut kembali merumput, dan culanya yang telah ditanami mikrocip di­simpan di brankas bank. Hume menolak me­nyebut jumlah cula yang diperolehnya sejak ia mulai panen pada tahun 2002, tetapi dengan perkiraan konservatif saja nilainya mencapai ratusan miliar rupiah.

Ide Hume tentang peternakan cula badak skala besar akan menjadi gagasan baru dalam praktik manajemen margasatwa inovatif yang berasal dari Afrika Selatan. Pada 1961, pejabat di Provinsi Natal merintis pemindahan badak liar ke lahan pribadi untuk menggalakkan pe­ter­nakan dan meningkatkan keragaman genetis.  


Tahun 1986, Dewan Suaka Margasatwa Natal mengizinkan kelebihan badak di suaka marga­satwa provinsi ini dilelang sesuai nilai pasar yang wajar, yang menghasilkan miliaran rupiah bagi upaya pelestarian lokal dan mengangkat nilai hewan itu di kalangan peternak dan pemburu. Hume berpendapat bahwa panen cula badak me­rupakan langkah bijak berikutnya.

Semakin lama kami berbincang, Hume men­jadi semakin meradang. Pemburu Vietnam akan dengan senang hati memanah hewan itu dengan pembius, mengambil culanya, dan membiarkannya hidup, katanya dengan keras. “Namun, hukum Afrika Selatan mengharuskan pemburu membunuh badak itu agar bisa mengekspor culanya sebagai hasil buruan.” Dia meng­geleng-menggeleng memikirkan betapa tidak logisnya hal itu.

Salah satu kesalahpahaman lain, kata Hume, adalah anggapan bahwa gading dan cula itu sama. Gading adalah gigi gajah, sementara cula badak adalah keratin, sama dengan kuku kuda. Ketika gading gajah dipotong, saraf di bagian dalamnya dapat terinfeksi, menyebabkan kematian hewan tersebut. 

Para pelestari berpendapat bahwa melegalkan perdagangan cula badak tidak akan mengubah alasan ekonomi di balik perburuan: cula hasil berburu selalu akan lebih murah daripada cula hasil beternak. Hume tidak setuju: Be­gitu pembeli yakin pada ketersediaan cula yang legal, harga akan jatuh, yang akan me­nyebabkan sindikat kejahatan meninggalkan bisnis ini. “Perbedaan mendasarnya adalah bah­wa pemburu mencari cula badak demi men­dapatkan laba jangka pendek secara mudah. Peternak menggelutinya demi keuntungan stabil jangka panjang.”

Beberapa penolakan, dia khawatir, berasal dari standar ganda budaya. “Pada dasarnya, kita mengatakan kepada orang Vietnam bahwa kita boleh saja membunuh binatang karena ke­biasaan kita memancung kepala badak dan memasangnya di dinding sebagai hiasan bisa diterima. Sementara, mereka tidak boleh melakukannya karena tradisi memotong cula untuk obat di Asia itu menjijikkan.”

Setelah berpatroli sepanjang malam tanpa menemukan tanda pemburu liar, Damien me­ngatur pencarian badak yang dikhawatirkan itu. Para jagawana berjalan beriringan mencari darah atau bangkai di semak-semak. Sampai siang, Basta dan anaknya belum juga ditemukan.

Saat Damien berkendara untuk memeriksa daerah merumput yang disukai badak itu, dia menggambarkan bagaimana tugasnya di Irak melindungi konvoi PBB memberinya wawasan khusus mengenai bahaya yang dihadapi hewan dari pemburu liar. “Kami diserang bom rakitan beberapa kali, dan saya kehilangan beberapa teman,” katanya pelan. “Saya tahu bagaimana rasanya diburu manusia.” 


Empat bulan setelah saya mewawancarai Deon, dia dibebaskan dari penjara. Dia mem­beri tahu polisi bahwa dia tidak akan bersaksi memberatkan komplotannya. Tuduhan terhadap Gert Saaiman kemudian dibatalkan. Sementara itu, pemburu liar membunuh empat badak putih di peternakan John Hume. Dokter Ibu Thien memastikan bintik di payudara dan indung telurnya adalah kista. Dia mengobatinya dengan campuran obat-obatan Barat dan Asia, termasuk cula badak.

Sebelum meninggalkan Zimbabwe, saya kembali mengunjungi Damien. Dia dan Benzene membawa saya jauh ke dalam hutan tempat Basta makan dedaunan pohon mopane dengan tenang. Dia berdiri di samping bayinya yang baru, kulit keriputnya menggulung di sekitar leher dan lutut. Plencing itu memiliki benjolan kecil tempat cula pertamanya nanti muncul, persis seperti moncong nenek moyangnya selama 40 juta tahun.

Damien menggeleng-gelengkan kepalanya. “Sangat menakjubkan melihat makhluk mu­ngil ini dan memikirkan ada yang ingin mem­­­bunuhnya demi benjolan kecil itu.” Saya katakan bahwa jika pekerjaan utamanya kini adalah melindungi badak, tato “Cari & Hancurkan” di dadanya seharusnya diganti “Cari & Selamatkan”. Dia tergelak 


Sumber: National geographic Indonesia

No comments:

Post a Comment