Friday 23 March 2012

Laut-Laut Arab






Pujangga menyanjungnya. Pengusaha mengurasnya. Aktivis melestarikannya.

Oleh KENNEDY WARNE
Foto oleh THOMAS P.PESCHAK

Nelayan tua itu duduk di atas selembar karpet, dalam pondok beratap jerami di tepi laut. Mukanya bak kulit kenari, dan matanya menyipit akibat seumur hidup memandang sinar matahari Arab yang terik menyilaukan. Angin shamal berembus panas dari laut, membuat pepohonan kurma pun terkulai. “Ini angin barat,” kata lelaki itu dengan suara parau. “Terasa hangatnya.”

Desa Film di belakangnya, yang dibangun pada lereng pegunungan Semenanjung Musandam di Oman, tampak bergetar bagai kemendang di atas anglo. Bernapas saja membuat saya merasa seakan-akan lubang hidung saya terbakar. Sami Alhaj, rekan selam saya dari Yaman, berkata: “Di dalam air, bersama karang, kita mengenyam surga. Di luar air, dengan angin ini, kita mencicipi neraka.”

Kami segera melarikan diri dari neraka dan turun kembali ke firdaus. Sementara rona daratan mirip pasar rempah-rempah—lada, kayu manis, moster, pala—dunia laut bersimbah warna-warni megah layaknya istana sultan. Tangkai karang lunak warna nila tampak panjang melambai, berbaur dengan dedaunan bintang bulu warna delima. Belut moray bintik abu-abu mengintip dari celah, mulutnya menganga memperlihatkan warna kuning yang mencengangkan. Ikan kepe-kepe melesat lewat dalam kelebat jingga.

Andai Syahrazad yang legendaris itu tahu tentang kekayaan lautan ini, tentu ia mendapat cukup bahan cerita untuk berkisah 1001 malam lagi. Ia mungkin membuat sang raja penasaran dengan teka-teki terumbu Dhofar, di Oman selatan; terumbu itu menjadi taman karang yang subur pada musim dingin dan hutan rumput laut pada musim panas.

Pemicu perubahan lingkungan ini—yang tidak terjadi di tempat lain—adalah datangnya angin khareef, yaitu angin monsun barat daya, yang memandikan pesisir dengan air dingin kaya-gizi yang naik ke permukaan. Rumput laut, yang tidur pada bulan-bulan hangat, menanggapi keadaan yang lebih dingin ini dengan ledakan pertumbuhan yang berlimpah ruah, menyelimuti terumbu dengan dedaunan hijau, merah, dan keemasan.

Mungkinkah ia menyebutkan kepiting geleteng dari Pulau Masira? Setiap malam kepiting itu membangun Gunung Fuji mini yang sempurna dari pasir, meski esok harinya diratakan angin. Syahrazad tentu tidak kekurangan bahan cerita.

“Akulah sang laut. Di kedalamanku semua harta berdiam. Pernahkah mereka menanyai penyelam tentang mutiaraku?” tulis pujangga Mesir Muhammad Hafiz Ibrahim seabad yang lalu. Kini sudah tidak banyak lagi pembela laut ini, para penyelam mutiara dari generasi-gener`si silam yang mencari harta terdahsyat. 

Empat puluh, lima puluh, seratus kali sehari mereka turun ke dasar laut, hingga 20 meter dalamnya, tanpa kacamata renang dan biasa­nya hanya memakai kain tenun tipis untuk me­lindungi diri dari sengatan ubur-ubur. Ada yang mati akibat serangan ikan pari, duri ikan lepuh batu yang beracun, gigitan hiu. Ada yang matanya diserang ikan giru. Ada yang gendang telinganya pecah, dan ada yang buta akibat sering terpapar air asin.
Zaman dulu, mutiara bagaikan berlian. Pada masa Hafiz, mutiara adalah sumber daya paling berharga di Teluk Persia, dan 70.000 orang terlibat dalam mengumpulkannya. Tetapi, para penyelam tidak banyak mencicipi kekayaan yang mereka bawa ke permukaan. Tiram dilempar ke tumpukan, baru dibuka esok harinya, setelah mati. Sekalipun seorang penyelam mengambil mutiara sebesar cerita Steinbeck, ia tak akan tahu. Utang yang mendorong mereka menyelam. Utang yang diwarisi dari ayah mereka dan dari kakek mereka.


Namun, berburu mutiara juga merupakan kebanggaan budaya yang mendalam, bagian dari tradisi kelautan yang “sama Arab-nya” dengan gurun pasir dan kurma. Melalui perairan Teluk Persia, Timur bertemu Barat, kekayaan Afrika dan India mengalir ke berbagai kerajaan Eropa. Hingga 1930-an, perahu-perahu dhow besar dari Kuwait, dengan nama seperti The Triumph of Righteousness dan The Light of the Earth and Sea, memasang layar lete untuk angin timur laut yang meniupnya ke Zanzibar dan Mangalore. Berbulan-bulan kemudian, angin khareef mem­bawa mereka pulang. Fluktuasi musiman angin merupakan bahan bakar perdagangan Arab.

Lalu datanglah minyak, dan cara hidup me­laut yang telah bertahan selama ribuan tahun pun sirna. Minyak bumi ibarat jin yang mengabulkan keinginan modernisasi dan kekayaan. Arab pun berubah—dari unta menjadi Cadillac, rumah lumpur menjadi mal raksasa—sementara warganya naik karpet ajaib dari kekayaan minyak.

Kini tangan manusia meraih dalam-dalam di laut-laut Arab dan mengambil harta lebih banyak daripada yang dapat dipulihkan oleh laut. Penangkapan ikan berlebih, pencemaran, pengeruk dasar laut, dan modifikasi pesisir besar-besaran melumpuhkan ekosistem laut dengan merusak kualitas air dan memperparah pertumbuhan ganggang beracun. Pada 2010, sekelompok ilmuwan kelautan menggambarkan perairan paling strategis di wilayah itu, Teluk Persia, sebagai “laut yang semakin rusak,” diterpa oleh badai pengaruh yang jahat. “Jika kecenderungan ini berlanjut,” tulis mereka, kita akan “kehilangan lingkungan laut yang unik.”

Salah satu kelompok yang paling terancam adalah hiu. Di antara semua serangan terhadap kehidupan laut Arab, yang paling mengerikan adalah gunung-gunung bangkai hiu yang tiba setiap malam di Pasar Ikan Deira di Dubai, diangkut truk dari tempat pengumpulan ikan di seluruh Oman dan Uni Emirat Arab, dari sana lalu ke timur—gelombang ikan dan daging yang bau.

Rima Jabado, yang tampak mencolok dengan sepatu bot karet kuning dan atasan jambon, menembus pasar sambil menghitung dan mengukur hiu martil, hiu monyet, hiu buas, hiu lonjor, dan hiu tenggiri: ikan ras dari lautan Arab, diangkut ke sini untuk dijagal seperti daging kuda. Hewan khas ini, yang dimimpikan para penyelam untuk bertemu di laut, diturunkan dari bak truk dengan kait daging dan dijejerkan di trotoar, kotor dan berdarah, baris demi baris mulut yang cemberut.

Si pelelang menyusuri barisan itu, diikuti rombongan pembeli yang menghitung margin laba pada ponsel cerdas masing-masing. Di belakang mereka seorang lelaki dengan cekatan menyayat sirip dan meletakkannya di terpal plastik untuk dijual terpisah. Truk pikap datang dan parkir, lalu sopirnya menurunkan selusin karung berisi sirip kering. Ia merogoh karung dan mengeluarkan segenggam segitiga abu-abu kecil, kaku seperti kayu. Pasti ada beberapa ribu sirip dalam satu pengiriman ini.

“Ketika saya pertama bekerja di sini, saya pikir, hiunya banyak sekali,” kata Jabado, mahasiswa S-2 di United Arab Emirates University. “Tapi kalau melihatnya setiap hari, kita bertanya, Bagaimana mungkin? Bagaimana ini bisa langgeng?” 

Muazin mengumandangkan azan magrib dari masjid yang menaranya membentuk siluet indah dengan latar langit keemasan. Di seberang tempat parkir, pasar ikan dipadati ibu-ibu rumah tangga yang menyusuri gang-gang pasar nan sesak, menyerahkan belanjaan kepada anak-anak Pakistan yang mendorong gerobak kebun ke SUV yang berjejer.

Nama lama untuk bagian Arab ini adalah Pantai Perompak. Dulu kapal dagang membawa pasukan pemanah untuk menghalau pencuri. Tapi bagaimana cara melawan penjarahan terhadap laut itu sendiri? Jabado menyusuri sepanjang pesisir UEA, dari Abu Dhabi hingga Ras al Khaimah, menghitung hiu dan mewawancarai nelayan. Di mana-mana ceritanya sama: Jumlah tangkapan menurun, dan intensitas penangkapan naik.

Salah satu hal yang ditanyakan Jabado kepada nelayan, apakah menurut mereka sebaiknya hiu dilindungi. Sebagian menjawab, Tidak, mengapa harus dilindungi? Hiu adalah karunia dari Tuhan, Dia akan memulihkannya. Sebagian menjawab, hiu perlu dilindungi, tetapi harus dilakukan di seluruh wilayah. Kalau dilindungi di sini, apa Anda pikir orang Iran akan berhenti menangkapnya? kata mereka. Mengapa saya harus berhenti menangkap hiu dan kehilangan pendapatan kalau ada orang lain yang terus menangkap ikan-ikan itu?

Teluk itu berbatasan dengan delapan negara. “Mereka memiliki budaya dan warisan yang serupa, sebagian besar berbahasa sama, menghadapi masalah yang sama, dan berbagi sumber daya yang sama,” kata Jabado. “Mengapa mereka tidak bekerja sama?”

Kekhawatiran Jabado lebih mendalam dari­pada pengelolaan perikanan. Di perairan yang begitu dangkal dan tertutup, dampak bencana lingkungan terlalu mengerikan untuk di­bayangkan. Di teluk ini terdapat ratusan anjungan minyak bumi dan gas, dan puluhan ribu pergerakan kapal tanker per tahun melalui Selat Hormuz yang sempit di antara Semenanjung Musandam dan Iran. “Bagaimana andai di sini terjadi bencana seperti kapal Deepwater Horizon?” tanyanya. “Kedalaman rata-rata teluk ini sekitar 30 meter. Satu tumpahan besar dapat memusnahkan seluruh ekosistem laut.

Ada tanda-tanda bahwa pendekatan terpadu yang dicari Jabado mungkin mulai terbentuk. Beberapa negara sedang mempertimbangkan meneladani Uni Emirat Arab untuk memberi perlindungan hukum kepada satu spesies hiu: hiu paus atau gurano, ikan terbesar di laut. Raksasa yang makan dengan menyaring air ini bermunculan di tempat-tempat tak terduga. Pada 2009, David Robinson, peneliti gurano yang tinggal di Dubai, terkejut ketika pencarian gambar Google memunculkan foto sekawanan gurano berenang di antara anjungan Al Shaheen, ladang utama migas di lepas pantai Qatar.

“Foto itu dipajang di halaman Facebook seorang buruh di anjungan gas,” kata Robinson. “Saya mengiriminya pesan, dia menambahkan saya sebagai teman, dan sekarang kami mendapat aliran gambar darinya dan beberapa orang lain. Dalam salah satu foto, saya menghitung ada 150 hewan. Saya ingin bilang bahwa kami menemukan gurano itu dengan menyisir laut tanpa lelah, tetapi itu bohong. Sebenarnya, dengan menyisir lautan dunia maya! Sains dengan Facebook—agak memalukan juga.” 

Semangat membela laut tampaknya tumbuh di seluruh wilayah ini. Di Kuwait ratusan penyelam amatir bersemangat membentuk tim ekologi setangguh tim SWAT, berdedikasi memperbaiki kerusakan lingkungan akibat perang dan limbah. Mereka mengangkat kapal karam dari dasar laut dan menyingkirkan berton-ton jaring yang terjerat dari terumbu karang Kuwait.

Di lepas pantai Qaruh, saya membantu memotong jaring yang melilit tonjolan rapuh pada karang bercabang Akropora—jaring benang nilon yang kusut parah, yang akhirnya mengalah pada koleksi pisau dapur dan gunting tanaman kami. Tim tukang servis terumbu kami yang gado-gado ini mencakup insinyur komputer, produser televisi, dan mantan pemimpin Masjid Agung di Kuwait. 

Dalam perjalanan pulang, saat melintasi laut kuning kecokelatan yang mulus, dengan badai debu bertiup di cakrawala, dua orang anggota tim menyisihkan tempat di antara peralatan skuba di geladak untuk salat. Tanpa menghiraukan gemuruh merdu motor tempel kembar 200 tenaga kuda, mereka bersujud dan melafalkan ayat-ayat suci, menyuarakan harapan agar  kebaikan datang ke dunia.

Di ujung lain Teluk Persia, di Dubai, pe­ngunjung pantai yang peduli lingkungan me­­ngumpulkan penyu yang terdampar dan mem­­bawanya ke fasilitas rehabilitasi di hotel Burj al Arab yang mewah. Pada tahun 2011, 350 penyu remaja diserahkan, kebanyakan korban “cold stunning”—kelembaman akibat turunnya suhu laut saat musim dingin.

“Jika berhasil ber­­tahan hidup dalam 24 jam pertama, ada peluang 99 persen penyu itu akan pulih,” kata Warren Baverstock, manajer operasi akuarium. “Mereka selalu tahu letak laut,” katanya. “Mereka berenang di dekat dinding yang terdekat dengan latt, mengangkat kepala, mencarinya.”

Pelepasan massal kura-kura hasil rehabi­li­tasi di­lakukan di pantai terdekat untuk me­mubli­k­asi­kan pekerjaan itu dan memperkuat pesan bahwa kehidupan laut Arab itu berharga, rapuh, dan perlu perlindungan. Setiap penyu ditanami mikrocip untuk identifikasi. Selama tujuh tahun proyek ini dijalankan, belum ada penyu yang terdampar dua kali.

Pasien hotel yang paling terkenal adalah penyu-agar dewasa bernama Dibba, yang datang dengan tengkorak retak. Baverstock dan timnya perlu waktu 18 bulan untuk merehabilitasinya, tetapi Dibba, yang dilepaskan dengan cangkang ditempeli pemancar satelit, membalas budi para perawatnya dengan perjalanan migrasi 8.000 kilometer selama 259 hari, melingkari Laut Arab ke selatan, melewati Maladewa, mengitari Sri­langka, dan mencapai hingga Kepulauan Andaman sebelum baterai pemancar itu mati.

Dibba mengikuti rute purba yang tertanam tak hanya pada penyu, tetapi juga ingatan bu­daya semua masyarakat Arab. Melalui rute itu pula perahu dhow berlayar, mengangkut mutiara dan kurma Basra. Melalui rute itu semuanya pulang, membawa kamper, sutra, kayu cendana, dan cengkeh. Dalam setiap keluarga Arab ada kapten dan pelaut, penyelam mutiara dan tukang kayu perahu.

Modernisasi telah meredupkan ingatan itu. “Kami tak lagi merasa haus akan lautan, haus yang hanya dapat diusir dengan melaut,” kata seorang pebisnis Oman, sedih. Namun, bagi beberapa orang Arab, dahaga itu masih ada. Mereka memperbarui pertalian dengan pantai purba dan menemukan kembali sang pujangga: “Di kedalamanku berdiam semua harta.” 

Sumber : National Geographic Indonesia

No comments:

Post a Comment